Minggu, 26 September 2010

MARYA OH MARYA

Hari itu langit begitu gelap, sepertinya akan turun hujan. Di depan mall masih terang benderang karena cahaya lampu yang betaburan menghiasi keindahan suasana mall. Jam masih menunjukkan pukul 22.15 WIB.
Dari pintu mall tampak keluar para pegawai yang telah menghabiskan waktunya seharian untuk bekerja menawarkan barang dagangan kepada para pengunjung mall. Salah satu di antara mereka adalah Marya. Gadis manis yang masih berumur kira-kira 18 tahun. Berdiri menunggu ojek yang biasa mengantarnya pulang. Inilah rutinitas mereka, selesai bekerja mereka menunggu ojek yang akan mengantar mereka pulang ke rumah masing-masing.
Di sudut remang-remang, ada sepasang mata yang sedang memperhatikan Marya. Matanya menatap begitu tajam seolah-olah ingin menelannya begitu saja. Hamper tidak ada sedikitpun yang terlewatkan dari pandangannya apa yang dilakukan Marya.
“Menunggu lama ya, dek?” basa-basi tukang ojek yang baru datang kepada Marya. Marya hanya menanggapi dengan senyuman. Kemudian naik ke atas motor di belakang tukang ojek. Tukang ojek pun berrlalu bersama Marya. Begitulah, mengantar pelanggan kerumahnya masing-masung.
Dalam jarak kira-kira 300 meter seorang lelaki mengikuti mereka menggunakan Avanza warna hitam metalik. Pandangan matanya masih tak melepaskan aktivitas Marya walau sedetikpun. Sedangkan mereka tak sadar telah diikuti sepasang mata dari belakang.
Beberapa saat mereka sampai di rumah yang mereka tuju. Marya turun kemudian merogoh kocek dan memberikan beberapa lembar uang ribuan kepada tukang ojek.
“makasih, bang…” ucap Marya.
“iya, abang terus, ya?” sambut tukang ojek yang terus belalu. Marya hanya mengangguk dan membalikkan badan seraya menuju pintu. Dia pun mengeluarkan anak kunci dari dalam sakunya.
“marya…!”
“mas…!” jawab Marya setelah menoleh kea rah suara itu. Lelaki itu dengan cepat mengayunkan tangannya bersama sapu tangan putih kea rah wajah Marya. Seketika Marya pingsan. Lalu lelaki itu membopong Marya masuk ke dalam mobil yang seterusnya meluncur entah kemana.
* * *
Marya tersadar dari pingsan. Ia tidak tahu sudah berapa lama tertidur pulas tanpa mimpi. Marya sadar saat ini berada di atas sebuah ranjang. Kedua tangannya terikat di sudut-sudut ranjang. Mulutnya terikat oleh sapu tangan putih.
Lampu kamar begitu terang. Di depan Marya duduk seorang laki-laki membelakanginya. Marya kenal lelaki itu. Ya, tidak salah lagi. Dia adalah Adi. Pemuda yang berumur 4 tahun lebih tua darinya, pemuda yang pernah dikhianatinya.
Sekilas bayang kejadian 6 bulan yang lalu terfikir di benak Marya. “ya, Allah… aku tidak menyangka ternyata kalian begitu keji. Kalian yang selama ini aku anggap sebagai Malaikat, ternyata Iblis bermuka dua. Iblis laknat!” Itulah kata-kata terakhir yang dia dengar. Juga kali terakhir berjumpa dengan Adi.
Adi tahu bahwa Marya telah sadar. Tetapi dia masih menikmati rokok di tangan hingga hisapan terakhir. Adi kemudian keluar tanpa memandang kearah Marya sedikitpun. Beberapa saat dia kembali dengan membawa satu piring roti dan segelas susu menghampiri Marya yang terus memandangnya dengan wajah seolah penuh penyesalan.
Secara berlahan Adi membuka ikatan sapu tanga di mulut Marya. Tanpa suara sedikitpun dia mulai mengambil gelas susu dan menyuapkan roti ke mulut Marya. Ketika itu Marya hanya pasrah. Kelopak matanya yang indah mulai digenangi air. Berlahan air pun mengalir melewati pipi yang lesung pipit.
“mas…!” hanya itu kata yang keluar dari mulut Marya. Hatinya bergemuruh. Perasaan marah, menyesal, bingung, seakan bergejolak dalam diri Marya. Adi masih diam membisu seolah mulutnya terkunci begitu rapat.
“kenapa mas melakukan semua ini?” Tanya Marya. Adi terdiam sejenak. Tanpa kata, kemudian tangannya melanjutkan menyuap Marya.
* * *
“mas Adi sudah punya pacar?” Tanya Marya suatu ketika setelah beberapa bulan berkenalan dengan Adi. Marya adalah salah seorang pelayan kafe saat itu, sedang Adi adalah pelanggannya.
“buat apa pacaran? Nanti aja kalau sudah mau nikah baru pacaran.”jawab Adi dengan tersenyum.
“saya mau jika mas Adi berkenan memperistri, atau saya juga mau jika mas membawa saya kemana saja…”
Adi kaget mendengar keterusterangan Marya. Adi ingin menjawab tetapi dia tidak mampu berkata-kata. Dia hanya menatap Marya dengan mimik terkejut. Marya tertunduk seakan memilukan jiwa.
“mengapa kamu begitu yakin, sedang kita belum lama kenal?”
“saya sendiri tak tahu mas, sejak pertama jumpa dengan mas, tak tahu kenapa, saya begitu yakin jika mas Adi orang baik. Apakah saya salah?” Sepulang dari kafe, Adi bercerita dengan temannya serumah.
“Dhani, aku lihat kamu yang paling tua di antara kita. Apakah kamu tidak ingin beristri? Aku lihat Marya juga perempuan yang baik, dia juga cantik.”cerita Adi pada mereka.
“kamu sendiri gimana? Kamu kan yang dapat tawaran.” Jawab Dhani.
“kamu kan tahu Dhan, aku hidup berdua saja dengan adikku. Dia masih sekolah, tentu dia butuh banyak perhatian dariku. Mungkin nanti setelah dia lulus baru aku akan berfikir untuk berumah tangga.”
“apalagi aku Di, di kampung aku ini anak sulung. Adikku empat. Aku masih menjadi harapan mereka.”
Begitulah Adi bercerita tentang Marya. Berharap yang baik didapatkan olehnya.
“bagaimana mas dengan tawaran saya kemaren?”
“kamu yakin Marya?”
“tak tahulah mas, yang pasti Marya begitu yakin dengan keputusan ini.”
“gimana ya…mas saat ini terus terang belum siap untuk menikah, sebab mas masih punya tanggungan adik yang sedang sekolah. Tetapi jika Marya mau bersabar, Insyaallah setelah adik mas lulus, mas akan melamar kamu. Sekarang kita bias pacaran dulu.” Marya mengangguk tanda setuju.
Dua bulan kemudian Adi mendapat tugas keluar kota dari bosnya. Setelah kembali Adi mendapat laporan yang kurang mengenakkan dari teman-temannya.
“Adi, sepertinya Dhani menghianatimu, deh…!” kata agus suatu ketika.
“kenapa kamu berfikir seperti itu, Gus?” Tanya Adi.
“sebab aku lihat kedekatan mereka lain. Sepertinya mereka ada hubungan khusus.”
“ah…mana mungkin. Aku memang menitipkan Marya kepadanya sebelum aku pergi. Lagian kan Dhani itu teman kita, mana mungkin dia menusukku dari belakang.”
“mudah-mudahan begitu.”
Beberapa hari kemudian Adi berbicara pada Dhani. Adi ingin mengetahui perasaan Dhani terhadap Marya.
“Dhan, sebenarnya aku hanya iba melihat hidup Marya. Dia tak punya siapa-siapa lagi. Rumah juga masih kost. Hidupnya juga sering sakit. Aku akan begitu bahagia bila ada orang yang menikahinya, membantu beban hidupnya. Apakah kamu tidak ingin berubah pikiran?” cerita Adi.
“hei Adi, sebenarnya aku juga kasihan melihat hidupnya, tetapi kamu juga tahu aku ini tulang punggung keluarga. Aku mungkin tidak akan sanggup bila harus menanggungnya.” Itulah jawaban Dhani ketika itu. Selama ini Dhani menganggap Marya sebagai adik.
Satu minggu kemudian Adi memergoki Dhani berduaan dengan Marya. Tetapi Adi masih tidak percaya. Dia tidak merasa curiga sedikitpun. Keesokan harinya Marya dating ke rumah Adi. Marya mengajak Adi makan malam karena ada yang ingin disampaikan.
“mas, sebelumnya Marya mohon maaf. Setelah Marya fikir masak-masak, sepertinya kita lebih baik berpisah.” Kata Marya secara tiba-tiba. Matanya mulai berkaca-kaca.
“mengapa kamu bicara seperti itu? Apa mas ada salah dengan Marya?” tanya Adi keheranan.
“bukan, mas tidak pernah salah. Tetapi Marya merasa hanya menjadi beban buat mas. Dengan adanya hubungan inipun, Marya merasa mempunyai tambahan beban. Marya fikir jika lebih baik sendiri dulu sampai mas Adi siap untuk menikahi Marya.” Air mata Marya mulai tumpah mengalir lewat pipinya yang lesung pipit.
“Marya, mas rasa itu bukan alas an. Jika hanya karena itu, mengapa kita mesti pisah. Kita bisa terus menjalani hubungan ini sampai saat itu tiba.”
“masalahnya mas, sekarang Marya merasa tidak pantas buat mas Adi. Marya hanya akan menjadi beban mas. Mas bisa cari perempuan lain yang lebih baik dari Marya.”
Marya, mengapa kamu berfikiran seperti itu. Mas ikhlas menerima Marya apa adanya. Mas tidak pernah mempermasalahkan kehidupan Marya.”
“mas melakukan ini karena kasihan, kan? Sebenarnya mas tidak pernah mencintai Marya kan? Betulkan mas?”
“tidak Marya, mas sungguh-sungguh. Memang mas akui, awalnya mas kasihan melihat Marya, tapi mas bisa belajar mencintai Marya.”
“mas tidak perlu kasihan, mas juga tidak perlu susah payah mencintai Marya. Saat ini yang penting Marya ingin sendiri dulu.” Kata Marya sambil menangis. Adi merenung sejenak kemudian ia ambil sapu tangan dari dalam sakunya dan menghapus air mata Marya.
“baiklah. Jika memang itu keputusan Marya. Buat mas, Marya bahagia itu sudah cukup bagi mas.”
Itulah kata terakhir Adi kepada Marya sebelum dia memergoki Marya berduaan dalam kamar bersama Dhani. Ketika itu Adi kembali mendapat tugas keluar kota selama seminggu. Tetapi baru tiga hari, hatinya merasa kurang enak. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan. Ketika sampai di depan rumahnya, Adi melihat sepasang sandal wanita di teras rumahnya. Sandal itu mirip dengan sandal yang pernah dibelinya untuk Marya. Berlahan Adi masuk, membuka pintu dan melihat suasana rumah yang sepi. Adi yang dalam perasaan curiga mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Dia mendail satu nomor. Beberapa saat terdengarlah bunyi nada dering ponsel dari dalam kamar Dhani. Darah Adi langsung naik.
“Dhani,…Dhani,… buka pintunya.” Panggil Adi dengan suara yang keras. Dia menggedor pintu kamar itu. Setelah tiga kali gedor barulah pintu berlahan-lahan terbuka. Dhani keluar dengan senyum masam. Penuh dengan emosi Adi menendang pintu hingga berbunyi sangat kuat. Adi masuk dan melihat Marya duduk di atas tempat tidur dengan wajah menunduk.
“apa yang kalian lakukan, dasar biadap! Keparat kalian, di mana otak kalian.” Kata Adi dengan membentak.
“Adi dengar dulu pendengaranku, kami tidak melakukan apa-apa.” Jawab Dhani terbata-bata.
“kamu masih berani mungkir…” tangan Adi langsung memegang kerah Dhani. “seorang laki-laki dan perempuan berada dalam satu kamar. Masihkah butuh penjelasan. Sungguh terkutuk kalian…!” Adi melepaskan tangannya kemudian mundur beberapa langkah dengan menutup mukanya.
“Ya Allah…aku tidak menyangka ternyata kalian begitu keji. Kalian yang selama ini aku anggap sebagai Malaikat, ternyata Iblis bermuka dua. Iblis laknat…!”
* * *
Pagi itu begitu cerah, burung-burung berkicau saling bersahutan. Marya tersadar dari mimpinya. Ia mendapati dirinya telah lepas dari ikatan. Dia melangkah keluar mencari Adi. Tetapi suasana begitu sepi, sedang yang di cari entah kemana. Lelah mencari, Marya duduk di ruang tamu.
Di meja itu Marya melihat sebuah map berwarna coklat. Marya mencoba membukanya dengan hati-hati. Dalam map itu terdapat sertifikat tanah atas namanya dan selembar kertas. Berlahan Marya membaca tulisan yang ada pada kertas itu.
Assalamualaikum Marya,
Jika kamu membaca surat ini berarti mas telah pergi jauh. Mas mohon maaf jika apa yang mas lakukan tidak berkenan dihatimu. Mas hanya berharap Marya sadar atas apa yang Marya lakukan.
Sebenarnya mas ingin membencimu, melukaimu, bahkan ingin membunuhmu. Tetapi mas tidak bisa. Semoga Marya tidak melakukan ini kepada orang lain. Sertifikat ini mas berikan untuk Marya sebagai hadiah perkenalan kita. Mas do’akan hidup Marya selalu mendapat kebahagiaan, Amin.
Wassalam Marya.
Air mata bening keluar dari pelupuk mata membanjiri lantai berkeramik. Air mata penyesalan atas semua yang telah berlaku. Penyesalan tiada arti. Ternyata tidak semua kejahatan itu di balas dengan kejahatan. Apakah masih ada manusia yang seperti ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar